"Apabila Allah menolong kamu, tidak ada yang akan sanggup mengalahkan kamu dan menghinakan kamu. Maka siapakah yang akan menolongmu setelah pertolongan Allah??Dan kepada Allahlah orang yang beriman hendaknya bertawakal."
----------------------------------------------------------------------------------------

Selasa, 01 Juli 2008

ASAKU DI LEMBAH CODE

Lama kuperhatikan bocah laki-laki berusia 7 tahun di hadapanku. Suara kanak-kanaknya mengeja huruf-huruf hijaiyah menjadi melodi tersendiri. Wajah lugunya sesekali mendongak untuk melihat ekspresiku. Tatapan polosnya tidak bisa menipu siapapun bahwa ia adalah kanak-kanak, sama seperti beberapa bocah lain yang duduk menunggu giliran di belakangnya.
Anak itu bernama Fara. Aku mengenalnya satu bulan yang lalu, saat ia pertama kali datang ke nurul iman-mesjid di belakang kosku ini. Dia datang diantar seorang perempuan berusia lima puluhan-Ibu Nina nama perempuan itu.
“Permisi, mbak,” suara nyaring perempuan setengah baya itu mengejutkan kami.

Sehari-hari kami mengenal Ibu Nina sebagai seorang penjual nasi kucing di pojok lapangan. Beliau adalah penganut agama Nasrani yang cukup taat. Seminggu dua kali ibu yang satu ini selalu menghampiri ibu kosku-yang juga seorang Nasrani, untuk latihan koor. Kehadiran beliau bersama cucu lelakinya di TPA terasa sedikit aneh di mataku.
“Oh monggo, Ibu. Silakan duduk.”sahut Lala yang kebetulan berdiri dekat pintu. Biasa anak-anak jika tidak dijaga pasti sudah berlarian kesana kemari.

Serentak kami berdua-aku dan Lala-segera menyalami sang ibu sementara dua ustadzah teman kami yang lain melanjutkan mengajari Iqro’ anak-anak TPA.
“Begini mbak,”Ibu Nina menyampaikan maksud kedatangannya”,saya mau nitip cucu saya untuk ngaji di sini.”

Sejenak aku tertegun.

“Saya bukan orang Islam mbak, tapi cucu saya ini nggak pernah mau diajak ke gereja. Malah katanya mau ngaji di Masjid aja.”lanjut Ibu Nina kemudian

Ada haru menelisir di hatiku.

”Oh inggih Ibu, Insyaalloh kami akan membimbing semampu kami.”jawabku sedikit gagap.
“Fara, sini kenalan sama mbak Hani” Ibu Nina memanggil lelaki kecil yang duduk di belakangnya.
“Mbak Hani,”aku mengulurkan tangan sembari tersenyum”namanya siapa anak pinter ?”
Dengan malu-malu bocah kecil itu menyambut uluran tanganku. “Fara,”jawabnya lirih sambil melirik ke arahku. Sejenak mata kami bertemu. Sedetik kemudian senyum terkembang di bibir mungilnya.

# #
Daerah sepanjang kali Code menurut cerita telah menjadi objek kristenisasi beberapa puluh tahun yang lalu. Upaya dakwah Islam beberapa tahun setelah itu, berhasil menyelamatkan akidah sebagian warganya. Dusun kecil tempat tinggalku selama menuntut ilmu di kota gudeg-Blimbingsari adalah salah satunya. Namun, hingga kini hampir 50% warganya masih menganut agama Nasrani. Kegiatan-kegiatan keagamaan mereka pun terbilang cukup aktif. Hampir setiap malam sehabis Isya’, terdengar suara nyanyian koor mereka. Mereka terbiasa latihan koor bergiliran di rumah anggota koor. Alhamdulillah warga yang beragam muslim juga aktif melakukan kegiatan keislaman. Seminggu sekali pasti ada kajian rutin, yasinan, dan kegiatan-kegiatan yang semacamnya.

# #

Hari minggu pertama di bulan Februari 2007. Iseng, aku dan Lala melihat-lihat pasar tiban di depan apotik tepat di perbatasan blimbingsari dengan Terban.. Pagi-pagi sarapan bubur sambel goreng tahu plus teh anget. Hemmmm…kenikmatan tiada duanya. Saat tengah asyik menikmati bubur, datang Ibu Nina.

“Mbak Lala saya temani sarapan ya..”kata beliau sambil meletakan sepiring bubur dan segelas air teh di depan kami.

Kami duduk bersila membentuk lingkaran. Sambil menikmati sepiring bubur anget, mengalirkanlah percakapan kami. Ujung-ujungnya kami membicarakan tentang cucu ibu Nina-Fara.
Ibu Nina bercerita bahwa ibu Fara dulunya adalah seorang Nasrani, sama seperti dirinya. Kemudian setelah menikah dengan seorang muslim Ambon, ia ikut suaminya memeluk Islam. Namun sayang pernikahan mereka tidak berumur panjang, ayah Fara meninggal saat Fara masih berusia 4 tahun, karena kecelakaan. Setahun kemudian ibu Fara menikah lagi dengan orang medan yang juga muslim. Sejak itu ibu Fara ikut suaminya tinggal di Medan, sementara Fara tinggal di Jogja bersama neneknya.
“Ibu Fara ingin sekali membawa Fara ke Medan, tapi Fara nggak mau. Fara malah lebih suka tinggal disini sama saya.”cerita ibu Nina” Mbak Tari kuahnya nambah ya..” kata beliau kepada mbak penjual bubur.
“Sebenarnya saya repot sekali mbak.”ibu Nina melanjutkan ceritanya” Tapi untung wae Fara itu mandiri. Mandi sendiri, beresin kamar, bahkan jika ada uang bantuan dari TPA, dia sendiri yang membagi-bagi. Trus diserahin ke saya”mbah ini untuk bayar sekolah Fara, yang ini untuk beli buku. Nanti kuitansinya serain Fara ya mbah” begitu katanya.”

Subhanalloh …tak ada kata yang mampu kuucapkan. Teringat aku masa kecilku. Seusia Fara adalah saat kejayaanku bermanja-manja. Terlahir sebagai anak pertama sama sekali tidak mengurangi perhatian dan kemanjaan yang kuterima dari orang-orang disekitarku.

“Kecil-kecil begitu imannya kuat mbak.”ada dua titik air bening mengalir di pipinya yang mulai keriput ”kalau diajak ke gereja nggak pernah mau. Dia selalu bilang Fara di rumah aja mbah, Fara nggak mau ke gereja. Fara kan orang Islam Mbah. Begitu selalu. Dibujuk-bujuk juga nggak pernah mau.”

Gemetar hatiku mendengar ceritanya. Inikah Ali masa kini ? aku teringat kata-kata Ali saat ayahnya-Abu Tholib menanyakan keislamannya.

“Wahai anakku, agama apa yang engkau anut ?”tanya Abu Tholib
Ali kecil pun menjawab tegas ,“ Ayahku!! Aku beriman kepada Allah dan RosulNya. Aku percaya kepada apa yang dibawa Rosululloh. Aku melaksanakan shalat bersamanya. Aku mematuhinya.”

Dan ternyata cerita tersebut ada di jaman ini. Yah cerita seorang Fara…
Percikan-percikan rasa beraneka warna memenuhi dadaku. Kagum, bahagia, haru, dan juga malu… aku malu dengan keteguhan bocah 7 tahun itu dalam memegang prinsip. Sedang aku yang berusia lebih dari tiga kali usianya ?? Muslim seperti apakah diri ini, Hani ??

“ Fara nggak mudah percaya sama orang. Dia sepertinya mikir-mikir untuk mempercayai orang.” Lanjut ibu Nina sembari mengusap air mata di pipinya. “Meski begitu dia peka dan berperasaan lembut seperti bapaknya”

Tak terasa pasar tiban pekanan ini mulai sepi. Tampaknya kami adalah pembeli bubur terakhir yang masih asyik lesehan. Sementara penjual nasi bakar di sebelah kami sudah memberesi sisa dagangannnya. Pasar yang berdurasi sekitar dua jam ini hampir bubar.
“Ya udah mbak, sudah siang. Saya harus segera masak untuk jualan.” Ibu Nina mengakhiri percakapan” nitip cucu saya ya mbak”
“Inggih, Ibu. Insyaalloh..”Lala menyahut sambil bersalaman.

Kami pun berpisah. Aku dan Lala melanjutkan rencana semula. Ada talkshow kebudayaan Islam di masjid kampus. Sepanjang perjalanan, Fara menjadi topik diskusi yang tak ada habisnya. Keteguhan dia memegang prinsip, tanggungjawab pribadinya adalah hal yang luar biasa untuk anak seusia dia. Apalagi dia dibesarkan dalam lingkungan nonmuslim. Ya Illahi…kuatkan mujahid kecil itu.
# #

“Assalamu’alaikum, kamarku”sembari membuka pintu, kusapa kamar yang telah menjadi tempatku berbagi selama hampir 5 tahun ini.
Di sinilah aku mengukir hari-hari. Tidak ada yang bakal mentertawakan aku seandainya aku berjingkrak-jingkrak kegirangan di sini. Saat aku bersedih pun hanya Allah dan cicak-cicak itu yang menjadi saksi sedu sedanku.

Kulihat weker bulat berwarna orange di atas meja belajarku. Pukul 14 lewat 40 menit, masih ada waktu sekitar 30 menit sebelum ‘Asyar. Wah lumayan bisa istirahat nih. Sore ini bukan jadwalku ngajar TPA, berarti daftar laporanku yang menunggu bakal berkurang satu nich. Kugantung jilbab seragam perawatku di balik pintu. Kubaringkan tubuh di atas tempat tidur yang sudah tidak empuk lagi ini. Subhanalloh …nyaman sekali saat tulang punggungku menyentuh kasur.

Hari ini sangat melelahkan. Pasien di ICU tempat aku praktek cukup banyak. Dari 11 bed yang tersedia tinggal satu yang kosong. Dan semuanya butuh perhatian ekstra, tiga orang koma sebentar-sebentar bradikardi, dua orang tetanus beberapa kali kejang, dua orang post open torakotomi, dua orang post kraniotomi dan satu orang post cangkok ginjal. Ditambah lagi residen jaganya baru dan kurang komunikatif. Masyaalloh…benar-benar menguji ketegaranku. Tapi Insyaalloh seberat apapun akan terasa indah jika kita melakukannya dengan cinta. Ciee…
Tit tit, tit tit…nokiaku menjerit-jerit. Siapa sih, orang mau tidur kok yo. Kenapa ga dari tadi sih kalau mau sms.

“Ass.mba j16.00 ni da raker sektor kes.qt mabit malam ini dPandega.usahakan dtg ya,IA mmbahas plan dakwah sektor qt.keep fighting..Allahu ma’ana ya ukhti fillah.”(sender: Mila-FA)

Wuihh..kebiasaan, anak-anak ini. Sukanya bikin acara mendadak!! Hhh..aku capek sekali, sendi-sendi kakiku seperti mau copot. Kupilih replay di layar nokiaku.
“www.ukh, mnda2k sekali sich..laporanq numpuk buanyaak bgt. af1 ya aq ijin. IA lain waktu...”

Belum sempat kupencet send, suara adzan ‘Asyar mengagetkanku. Reflek kuletakkan si biru nokia di samping tempat tidur.
“Astaghfirulloh …kok bisa kaget gini. Sholat dulu aja ah, dari tadi kok menggerutu terus, kalau ada setan lewat kan bahaya..”kataku pada diri sendiri.

Sehabis sholat, kubaringkan tubuhku diatas sajadah orange kesayanganku. Pandanganku menyapu kamar bercat putih ini. Tumpukan pakaian kotor di pojok kamar, seolah menghiba untuk segera dicuci. Sementara di atas meja masih terbuka tiga buah buku tebal sisa belajarku tadi pagi. Disampingnya folio yang baru separuh kutulisi, menantiku untuk menyelesaikannya.
Kualihkan pandangan pada dinding kamar. Beberapa foto tergantung dihadapanku. Foto wisudaku bareng bapak ibu, ternyata aku manis juga yach. he..he narsis!! Tak sengaja mataku berhenti pada foto anak-anak TPA di atas rak buku. Anak-anak yang lucu…yang paling depan..Fara. Mata beningnya menatapku penuh makna. Teringat kembali aku kata-kata Ibu Nina 2 hari yang lalu” …Fara kan orang Islam mbah,” Astaghfirulloh …aku juga orang Islam, aku seorang muslim. Pantaskah seorang muslim mengelak panggilan dakwah dengan sebuah alasan klasik, bikin laporan!! Sedangkan aku hafal diluar kepala salah satu firmannya:

“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat. Dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik begimu jika kamu mengetahui”

Hani…tidakkah kau merasa malu dengan Tuhanmu???tak terasa ada sungai mengalir deras di pipiku.
Tet tet..tet..tet….masyaalloh sms itu ??pasti Mila yang misscall. Kulirik weker pukul 16.00. buru-buru kuubah ketikan di layar nokiaku:

“www. Af1 telat, IA 15 mnt lagi sampe pandega…”kupilih send. Yap pesan terkirim.

Secepat kilat kukenakan jilbab ungu, kumasukkan beberapa buku catatan di tas, tak lupa handuk dan alat mandi. Gak sempet mandi ntar malem aja disana. Dua menit kemudian aku sudah melesat dengan sepeda mini merahku.

# #

Tepat dua bulan aku menjadi jobseeker di kota pelajar, setelah satu Mei lalu aku resmi menyandang gelar baru di belakang namaku: S Kep.,Ns. Jika ada survey angkatan kerja, aku turut berperan meningkatkan angka pengangguran bertitel sarjana. Tetapi sebagai seorang muslim, aku yakin betul rizqiku sudah ditetapkan sama Allah, nggak bakal ketukar sama ribuan pencari kerja yang lain. Betul tidak ??
Dua puluh lembar ijazah berlegalisir sudah habis kusebar di berbagai institusi di kota ini, entah itu rumah sakit maupun sekolah-sekolah perawat. Tapi hingga hari ini belum satupun yang merespon lamaranku. May be Allah menginginkan aku menjadi pribadi yang lebih sabar.

Bu dhe Rini sudah berkali-kali menelponku. ‘Ke rumah bu dhe aja Han, di Jakarta kan peluangnya lebih besar’ begitu selalu beliau membujukku. Bahkan dua hari yang lalu beliau bersikeras memaksaku untuk melamar di rumah sakit salah seorang teman SMA beliau.
Ring tone monophonic Hpku kembali bersuara, bu dhe Rini memanggil…
“Hallo, gimana Han ? Jadi kan ke Jakarta ?” tanya beliau penuh harap
“Hmmm, Bu Dhe..Hani nunggu respon di Jogja dulu ya… kalau tiga bulan kedepan Hani belum dapat kerja di sini, baru Hani ke Jakarta.”kataku setengah merajuk
“Hani,hani. Memang di Jogja ada siapa sih ? jadi curiga Bu Dhe.”suara Bu dhe mulai meninggi.
“Bukan begitu Bu Dhe, jogja kan deket sama bapak ibu. Jadi Hani bisa sering pulang jika bapak Ibu kangen sama Hani.”kataku beralasan” lagian Bu Dhe sendiri pernah bilang kalau Jakarta tuh udah terlalu padat…..”
“Terus kamu mau nganggur ?” beliau memotong kalimatku,”Pokoknya Bu dhe nggak mau tahu, jika bulan depan kamu belum kerja, kamu harus ke Jakarta. Pikirkan baik-baik Hani!!”Klik. telepon dimatikan dari seberang.

Kejam !!!! Haruskah idealisme dikalahkan oleh uang ??Dasar kapitalis, benci aku!!! Hampir saja kubanting Hp di tanganku. Untung aku segera teringat ibu, beliau membelikanku dengan susah payah.”Biar kamu mudah dihubungi teman kuliah dan ngajimu..”kata beliau saat memberiku sejumlah uang untuk beli HP dua tahun silam.
“Tok.tok.tok.assalamu’alaikum…”suara anak-anak membuyarkan lamunanku.
“wa’alaikumsalam…’ jawabku sambil membukakan pintu.

Lima anak berusia kurang dari sepuluh tahun menyerbu masuk.

“Mbak Hani ayo ke TPA..ga ada ustadz yang datang,”kata si manja Sarah merayuku.

Sehabis wisuda Mei lalu tiga orang pengajar TPA bekerja di luar Jogja, sementara tiga orang yang lain pulang kampung selama liburan semester, empat orang sedang sibuk TA dan sisanya sedang sibuk ujian semester pendek. Maklum sebagian besar pengajar TPA adalah mahasiswa yang anak kost.

“Iya mbak, kita mau ngaji” Fara menimpali
“Iya,iya. Tapi kalian menunggu di ruang depan dulu sayang. Mbak Hani siap-siap dulu “ucapku sambil menggiring mereka ke ruang tamu.
“Cepat ya mbak sudah setengah lima, nanti kesorean selesainya.” Fachri, anak yang paling besar diantara mereka menyahut

Robbi…anak-anak ini adalah alasan terbesarku untuk bertahan di sini. Celotehan mereka, canda tawa mereka, semangat mereka…semua menumbuhkan cinta yang tak kuasa kubendung arusnya. Yach aku juga seorang muslim. Standar perilaku seorang muslim adalah hukum syara’. Bukankah itu konsekuensi dari keimanan kita ?? bagaimana dengan rizqi ? “Gusti Alloh ora sare, Nduk” begitu nasehat ibu setiap aku mengeluh tentang kondisiku.

“….Dan kepada Allahlah orang-orang yang beriman hendaknya bertawakal.” (QS ali Imran: 160)

Bismillah…..


Blimbingsari, pertengahan Juni 2007.
Hari-hari abadi dalam memory.